Surabaya -Para pegiat pers di berbagai kota kemarin (25/1) kompak turun ke jalan. Tuntutan mereka sama: Meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) membatalkan remisi untuk I Nyoman Susrama, otak pembunuhan terhadap wartawan Jawa Pos Radar Bali AA Gde Bagus Narendra Prabangsa.
Namun, hingga kemarin, Jokowi belum merespons tuntutan tersebut. Mantan gubernur DKI Jakarta itu malah meminta wartawan mengonfirmasi kembali masalah tersebut kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna H. Laoly. “Tanyakan Menkum HAM,” kata Jokowi singkat di Bekasi kemarin. Padahal, remisi yang diterima Susrama dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) No 29/2018 yang diteken Jokowi.
Keppres bertanggal 7 Desember 2018 itu berisi tentang pemberian remisi berupa perubahan dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara. Susrama merupakan satu di antara 115 napi seumur hidup yang mendapat perubahan hukuman dari seumur hidup menjadi 20 tahun. Meski demikian, rupanya, Jokowi tidak tahu detail masalah tersebut. “Kalau teknis begitu, tanyakan ke Menkum HAM,” ujar Jokowi lagi.
Kami kemarin berusaha meminta konfirmasi kepada Menkum HAM. Namun, hingga berita ini ditulis tadi malam, kader PDIP itu tidak bisa dihubungi. Kepala Bagian Humas Kemenkum HAM Dedet juga tidak menjawab permintaan konfirmasi. Beberapa kali Jawa Pos mengupayakan konfirmasi, tapi belum mendapat respons.
Namun, dalam wawancara Rabu lalu (23/1), Yasonna menyatakan bahwa remisi untuk Susrama sudah sesuai dengan ketentuan. Keppres No 174 Tahun 1999 menyebutkan bahwa terpidana seumur hidup berhak mendapat remisi dengan izin presiden melalui keppres. “Pertimbangannya, dia (Susrama, Red) sudah sepuluh tahun di penjara,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Yasonna, selama menjalani masa hukuman, Susrama mengikuti program serta berkelakuan baik. Hal itu didasarkan pada penilaian tim pengawas lapas.

Sementara itu, aksi mendesak pembatalan remisi Susrama berlangsung serentak di sejumlah kota. Khusus di Jakarta, aksi dilakukan di Taman Aspirasi Monas, seberang Istana Presiden. Massa terdiri atas berbagai aliansi dan lembaga. Antara lain, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, AJI Jakarta, dan Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ).
Ketua Bidang Advokasi YLBHI M. Isnur menerangkan, kampanye penolakan itu merupakan upaya preventif untuk mendorong Jokowi membatalkan remisi Susrama yang tertuang dalam Keppres 29/2018.
Bila presiden tidak menggubris desakan itu, Isnur bersama aktivis lain berencana menempuh upaya hukum. Langkah tersebut akan diawali dengan mengkaji seberapa jauh prosedur dan substansi pemberian remisi itu. “Apakah pemberian remisi ini sudah memenuhi prosedur? Itu yang akan kami kaji dulu,” paparnya.
Menurut Isnur, ada celah untuk menilai bahwa remisi tersebut tidak memenuhi prosedur. Misalnya, dari aspek penelitian kemasyarakatan (litmas). Otoritas pemasyarakatan, khususnya badan pemasyarakatan (bapas), semestinya meminta tanggapan keluarga Prabangsa sebagai upaya litmas tersebut. “Korban (keluarga Prabangsa, Red) harus ditanya, apakah sudah memaafkan apa belum,” ungkapnya.
Ke depan, Isnur dan kawan-kawan juga akan mendalami lebih jauh apa saja pertimbangan menteri hukum dan HAM menyetujui remisi untuk Susrama dan mengusulkannya kepada presiden. “Dan saya pikir, penting juga menelusuri pendapat-pendapat korban lain terkait dengan keppres ini, apakah mereka juga menerima pelaku pembunuhan keluarga mereka mendapat remisi?” katanya.
Ketua Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Erick Tanjung mengungkapkan, remisi Susrama tidak sejalan dengan semangat keadilan yang ditunjukkan lembaga peradilan. Sebab, sebelumnya, upaya banding pelaku juga ditolak pengadilan.
“Pengadilan Tinggi Bali menolak upaya terdakwa pada April 2010. Keputusan itu diperkuat hakim Mahkamah Agung pada 24 September 2010,” ujarnya. Selain mencabut remisi, negara perlu mendorong pengungkapan kasus-kasus pembunuhan jurnalis yang telah lama berlalu tanpa kejelasan.
Berdasar data AJI, hingga saat ini, masih ada beberapa kasus lain yang belum tersentuh hukum. “Kami meminta Presiden Joko Widodo menuntaskan delapan kasus pembunuhan jurnalis itu,” tegas Erick.
AJI menilai, tak diadilinya pelaku kekerasan terhadap jurnalis, termasuk memberikan keringanan hukuman bagi para pelakunya, akan menyuburkan iklim impunitas. “Ini membuat para pelaku kekerasan tidak jera dan itu bisa memicu kekerasan terus berlanjut,” tuturnya.
Aksi serupa dilakukan AJI Surabaya bersama sejumlah jurnalis di depan Gedung Negara Grahadi. Ketua AJI Surabaya Miftah Faridl menyatakan, pemberian remisi kepada pembunuh Prabangsa bukan sekadar persoalan administratif. Namun, harus dilihat siapa yang membunuh, siapa yang dibunuh, dan apa penyebab pembunuhan itu.
Kasus pembunuhan Prabangsa seharusnya menjadi momentum penanganan kekerasan terhadap jurnalis. Sebab, banyak penanganan kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tidak tuntas. “Ini ada kasus yang tuntas di pengadilan, ternyata malah diampuni pemerintah.”
Di Gresik, wartawan lintas media menggelar aksi solidaritas di depan gerbang kantor bupati Gresik. Mereka ramai-ramai mengecam pemberian remisi untuk Susrama. “Pemberian ampunan bagi otak pembunuh wartawan sangat melukai keluarga besar pers Indonesia,” tegas Firman, jurnalis peserta aksi.
Di bagian lain, Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo menuturkan, pihaknya tidak bisa mencampuri keputusan presiden dalam memberikan grasi atau remisi kepada narapidana. Termasuk remisi untuk Susrama. Meski demikian, menurut dia, presiden tentu mendengarkan pertimbangan berbagai pihak. “Apakah pembunuh wartawan itu memang harus diberatkan dari koruptor yang juga mendapatkan remisi, misalnya,” jelasnya kemarin. Hal itu menjadi kewenangan sepenuhnya presiden selaku kepala eksekutif.
Hanya, sampai saat ini pihaknya belum mengetahui apa pertimbangan presiden memberikan keringanan kepada Susrama. “Dalam pemberian grasi (kepada Susrama), kami tidak pernah dimintai pertimbangan oleh pemberi grasi,” lanjut Stanley.
Padahal, dalam sejumlah kasus kekerasan terhadap wartawan, Dewan Pers sering dilibatkan. Baik oleh kepolisian maupun lembaga peradilan. Bentuknya bukan pelibatan secara langsung. Biasanya, Dewan Pers dimintai keterangan sebagai ahli. Baik saat pemeriksaan di tingkat penyidikan maupun persidangan.
Meski demikian, kata Stanley, Dewan Pers bukannya tidak berupaya. “Kami concern jangan sampai para pembunuh wartawan ini mendapatkan kemudahan-kemudahan,” tutur pria 59 tahun itu. Dorongan tersebut dilakukan karena hukuman terhadap pembunuh wartawan diharapkan memiliki deterrent effect kepada semua pihak.
Kasus pembunuhan Prabangsa dan vonis seumur hidup bagi Susrama harus menjadi pelajaran. Tidak boleh ada lagi pihak mana pun yang melakukan kekerasan apalagi sampai membunuh wartawan. “Karena wartawan itu sebetulnya bekerja untuk kepentingan publik,” tambah mantan wakil ketua Komnas HAM itu, dilansir dari Jawa Pos. (snc)
Namun, hingga kemarin, Jokowi belum merespons tuntutan tersebut. Mantan gubernur DKI Jakarta itu malah meminta wartawan mengonfirmasi kembali masalah tersebut kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna H. Laoly. “Tanyakan Menkum HAM,” kata Jokowi singkat di Bekasi kemarin. Padahal, remisi yang diterima Susrama dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) No 29/2018 yang diteken Jokowi.
Keppres bertanggal 7 Desember 2018 itu berisi tentang pemberian remisi berupa perubahan dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara. Susrama merupakan satu di antara 115 napi seumur hidup yang mendapat perubahan hukuman dari seumur hidup menjadi 20 tahun. Meski demikian, rupanya, Jokowi tidak tahu detail masalah tersebut. “Kalau teknis begitu, tanyakan ke Menkum HAM,” ujar Jokowi lagi.
Kami kemarin berusaha meminta konfirmasi kepada Menkum HAM. Namun, hingga berita ini ditulis tadi malam, kader PDIP itu tidak bisa dihubungi. Kepala Bagian Humas Kemenkum HAM Dedet juga tidak menjawab permintaan konfirmasi. Beberapa kali Jawa Pos mengupayakan konfirmasi, tapi belum mendapat respons.
Namun, dalam wawancara Rabu lalu (23/1), Yasonna menyatakan bahwa remisi untuk Susrama sudah sesuai dengan ketentuan. Keppres No 174 Tahun 1999 menyebutkan bahwa terpidana seumur hidup berhak mendapat remisi dengan izin presiden melalui keppres. “Pertimbangannya, dia (Susrama, Red) sudah sepuluh tahun di penjara,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Yasonna, selama menjalani masa hukuman, Susrama mengikuti program serta berkelakuan baik. Hal itu didasarkan pada penilaian tim pengawas lapas.

Sementara itu, aksi mendesak pembatalan remisi Susrama berlangsung serentak di sejumlah kota. Khusus di Jakarta, aksi dilakukan di Taman Aspirasi Monas, seberang Istana Presiden. Massa terdiri atas berbagai aliansi dan lembaga. Antara lain, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, AJI Jakarta, dan Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ).
Ketua Bidang Advokasi YLBHI M. Isnur menerangkan, kampanye penolakan itu merupakan upaya preventif untuk mendorong Jokowi membatalkan remisi Susrama yang tertuang dalam Keppres 29/2018.
Bila presiden tidak menggubris desakan itu, Isnur bersama aktivis lain berencana menempuh upaya hukum. Langkah tersebut akan diawali dengan mengkaji seberapa jauh prosedur dan substansi pemberian remisi itu. “Apakah pemberian remisi ini sudah memenuhi prosedur? Itu yang akan kami kaji dulu,” paparnya.
Menurut Isnur, ada celah untuk menilai bahwa remisi tersebut tidak memenuhi prosedur. Misalnya, dari aspek penelitian kemasyarakatan (litmas). Otoritas pemasyarakatan, khususnya badan pemasyarakatan (bapas), semestinya meminta tanggapan keluarga Prabangsa sebagai upaya litmas tersebut. “Korban (keluarga Prabangsa, Red) harus ditanya, apakah sudah memaafkan apa belum,” ungkapnya.
Ke depan, Isnur dan kawan-kawan juga akan mendalami lebih jauh apa saja pertimbangan menteri hukum dan HAM menyetujui remisi untuk Susrama dan mengusulkannya kepada presiden. “Dan saya pikir, penting juga menelusuri pendapat-pendapat korban lain terkait dengan keppres ini, apakah mereka juga menerima pelaku pembunuhan keluarga mereka mendapat remisi?” katanya.
Ketua Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Erick Tanjung mengungkapkan, remisi Susrama tidak sejalan dengan semangat keadilan yang ditunjukkan lembaga peradilan. Sebab, sebelumnya, upaya banding pelaku juga ditolak pengadilan.
“Pengadilan Tinggi Bali menolak upaya terdakwa pada April 2010. Keputusan itu diperkuat hakim Mahkamah Agung pada 24 September 2010,” ujarnya. Selain mencabut remisi, negara perlu mendorong pengungkapan kasus-kasus pembunuhan jurnalis yang telah lama berlalu tanpa kejelasan.
Berdasar data AJI, hingga saat ini, masih ada beberapa kasus lain yang belum tersentuh hukum. “Kami meminta Presiden Joko Widodo menuntaskan delapan kasus pembunuhan jurnalis itu,” tegas Erick.
AJI menilai, tak diadilinya pelaku kekerasan terhadap jurnalis, termasuk memberikan keringanan hukuman bagi para pelakunya, akan menyuburkan iklim impunitas. “Ini membuat para pelaku kekerasan tidak jera dan itu bisa memicu kekerasan terus berlanjut,” tuturnya.
Aksi serupa dilakukan AJI Surabaya bersama sejumlah jurnalis di depan Gedung Negara Grahadi. Ketua AJI Surabaya Miftah Faridl menyatakan, pemberian remisi kepada pembunuh Prabangsa bukan sekadar persoalan administratif. Namun, harus dilihat siapa yang membunuh, siapa yang dibunuh, dan apa penyebab pembunuhan itu.
Kasus pembunuhan Prabangsa seharusnya menjadi momentum penanganan kekerasan terhadap jurnalis. Sebab, banyak penanganan kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tidak tuntas. “Ini ada kasus yang tuntas di pengadilan, ternyata malah diampuni pemerintah.”
Di Gresik, wartawan lintas media menggelar aksi solidaritas di depan gerbang kantor bupati Gresik. Mereka ramai-ramai mengecam pemberian remisi untuk Susrama. “Pemberian ampunan bagi otak pembunuh wartawan sangat melukai keluarga besar pers Indonesia,” tegas Firman, jurnalis peserta aksi.
Di bagian lain, Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo menuturkan, pihaknya tidak bisa mencampuri keputusan presiden dalam memberikan grasi atau remisi kepada narapidana. Termasuk remisi untuk Susrama. Meski demikian, menurut dia, presiden tentu mendengarkan pertimbangan berbagai pihak. “Apakah pembunuh wartawan itu memang harus diberatkan dari koruptor yang juga mendapatkan remisi, misalnya,” jelasnya kemarin. Hal itu menjadi kewenangan sepenuhnya presiden selaku kepala eksekutif.
Hanya, sampai saat ini pihaknya belum mengetahui apa pertimbangan presiden memberikan keringanan kepada Susrama. “Dalam pemberian grasi (kepada Susrama), kami tidak pernah dimintai pertimbangan oleh pemberi grasi,” lanjut Stanley.
Padahal, dalam sejumlah kasus kekerasan terhadap wartawan, Dewan Pers sering dilibatkan. Baik oleh kepolisian maupun lembaga peradilan. Bentuknya bukan pelibatan secara langsung. Biasanya, Dewan Pers dimintai keterangan sebagai ahli. Baik saat pemeriksaan di tingkat penyidikan maupun persidangan.
Meski demikian, kata Stanley, Dewan Pers bukannya tidak berupaya. “Kami concern jangan sampai para pembunuh wartawan ini mendapatkan kemudahan-kemudahan,” tutur pria 59 tahun itu. Dorongan tersebut dilakukan karena hukuman terhadap pembunuh wartawan diharapkan memiliki deterrent effect kepada semua pihak.
Kasus pembunuhan Prabangsa dan vonis seumur hidup bagi Susrama harus menjadi pelajaran. Tidak boleh ada lagi pihak mana pun yang melakukan kekerasan apalagi sampai membunuh wartawan. “Karena wartawan itu sebetulnya bekerja untuk kepentingan publik,” tambah mantan wakil ketua Komnas HAM itu, dilansir dari Jawa Pos. (snc)
