Tantangan yang dihadapi pemerintah pada saat ini lebih berat dibandingkan situasi sewaktu krisis keuangan pada 2008-2009 lalu. Ketika itu, Amerika Serikat (AS) menggelontorkan stimulus dengan membeli aset-aset di pasar keuangan global.
Selain itu, harga komoditas juga masih cukup tinggi, sehingga kapasitas ekspor Indonesia masih besar. Alhasil, penerimaan negara pun tetap terjaga.
“Pada 2009 diguyur uang, ada capital flight ke negara emerging. Perekonomian baik, komoditas booming,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro dalam seminar bertajuk “Strategi Mewujudkan Arsitektur Sistem Keuangan dan Perbankan Nasional yang Tangguh” di Jakarta, Rabu (13/5).
Kondisi pada enam tahun lalu itu berbeda dengan sekarang. Perekonomian AS tengah dalam tren pemulihan setelah terkena krisis. Sementara ekonomi negara-negara kawasan Eropa dan Jepang justru dalam kondisi yang sebaliknya.
Kebijakan di antara keduanya pun terkesan saling bertentangan yang berdampak negatif terhadap negara-negara dengan pasar yang baru berkembang (emerging market). Meskipun ada stimulus fiskal dari Eropa dan Jepang, dana tersebut tidak mengucur ke emerging market.
“Jadi meski ada guyuran dari Jepang dan Eropa, tapi ada AS versus Eropa dan Jepang. Yang terkena, ya ekonomi di emerging market,” kata dia.
Seiring makin memulihnya perekonomian, AS yang tadinya mengucurkan dana, sekarang banyak menyerap dana global. Makanya, kurs dolar AS pun menguat terhadap mata uang global, termasuk rupiah. Ini ditambah lagi kebijakan sejumlah negara yang memperlemah mata uang supaya ekspornya makin kompetitif di tengah perlambatan ekonomi dunia.
Bagi Indonesia, ini berdampak buruk karena impornya yang masih tinggi, kinerja ekspor pun masih bergantung pada komoditas yang harganya sedang turun. Ekonomi Cina pun tengah mengalami perlambatan, padahal negara ini menjadi tujuan ekspor terbesar Indonesia.
Beban bagi Indonesia pun bertambah seiring belum pastinya kenaikan suku bunga AS. Normalisasi kebijakan moneter oleh the Fed dikhawatirkan akan menyebabkan dana asing yang ada di pasar keuangan Indonesia terbang ke AS. Ini mengingat kepemilikan asing di surat utang negara mencapai 38 persen, sedangkan di pasar modal mencapai 60 persen.
Sumber: katadata.co.id